Khotbah BP Sinode GKITP
Yeremia 34:8-22PENGANTAR
Kebebasan merupakan hak istimewa yang Allah berikan kepada manusia. Kebebasan ini sudah ada pada Adam dan Hawa yang ditempatkan di taman Eden untuk dengan kebebasan yang dimilikinya menentukan sikap atas tawanan iblis untuk makan buah pengetahuan yang baik dan jahat. Manusia menggunakan kebebasannya untuk memilih melawan perintah Allah, "janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. 2:17). Kebebasan menunjukan manusia adalah makhluk yang mandiri di hadapan Allah sang Pencipta, namun ini adalah kebebasan dalam kaitan dan ikatan hubungan perjanjian Allah dengan makhluk ciptaan-Nya, melewati batas perjanjian itu mengandung risiko, mati. Begitu pentingnya kebebasan itu, sehingga bukan hanya manusia yang diperhatikan kebebasannya, tanah pun patut mendapatkan kebebasan dimana pada tahun ketujuh tidak boleh lagi ditanami (Im. 25:4). Dapat dipahami kalau Allah memaklumkan pembebasan budak-budak Israel di zaman pemerintahan Zedekia. Tidak boleh ada penindasan atas kebebasan manusia melalui perbudakan, sebab hal tersebut menyimpang dari kehendak Allah yang menciptakan manusia dalam gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26). Sekalipun Allah sudah memaklumkan pembebasan dan para pemimpin Israel melakukannya, namun hal itu hanya berlaku sementara saja, karena perbudakan terulang lagi. Yeremia dipanggil Tuhan untuk mengingatkan, supaya perbudakan itu diakhiri agar "tidak seorang pun lagi yang memperbudak seorang Yehuda, saudaranya" (ayat 9). Dalam bulan Oktober ini, orang Kristen di Tanah Papua, khususnya warga GKI, memperingati dan merayakan 68 tahun gereja ini hadir dan melayani di negeri Cenderawasih. Dalam moto GKI di Tanah Papua, Epesus 5:8, warga gereja diingatkan akan masa lalu dalam kegelapan karena belum hidup di dalam Injil, tetapi setelah menerima Kabar Baik tentang keselamatan dalam Kristus, kegelapan itu benar-benar menjadi masa lalu. "Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan". Injil membebaskan Papua dan umat yang mendiami negeri ini dari kegelapan duniawi kepada terang sorgawi di dalam Kristus Yesus. Maka di Tanah Papua tidak ada lagi perbudakan kuasa dosa atas orang Papua, sehingga di atas tanah ini tidak ada tempat untuk satu menindas yang lain baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. Penindasan adalah kehidupan dalam kegelapan, dan ini sudah menjadi masa lalu Papua. Papua hari ini ada dalam terang, "sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran".
PENJELASAN TEKS
Ayat 8-10: Pembebasan budak-budak, Berdasarkan perjanjian raja Zedekia dan segenap rakyat Yerusalem untuk membebaskan semua budak laki-laki maupun perempuan yang dimiliki orang Israel, maka budak-budak dilepaskan. Ditegaskan "supaya setiap orang melepaskan budaknya bangsa Ibrani, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai orang merdeka, sehingga tidak ada seorang pun lagi yang memperbudak seorang Yehuda, saudaranya" (ayat 9). Semua orang yang menyetujui perjanjian tersebut akhirnya membebaskan budak-budak mereka, dan para budak itu menjadi orang merdeka dan tidak ada lagi budak di Yerusalem. Pembebasan budak-budak ini mewujudkan hakikat manusia sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang dilengkapi kebebasan. Karena itu, perbudakan bertentangan dengan harkat kemanusiaan manusia sebagai imago Dei atau gambar Allah. Maka tidak boleh ada perbudakan dalam kehidupan manusia. Oleh sebab itu, pembebasan budak- budak itu merupakan sebuah tindakan yang benar di hadapan Tuhan.
Ayat 11-16 : Perbudakan terulang kembali
Pembebasan budak-budak tersebut hanya berlangsung sementara, karena "sesudah itu mereka berbalik pikiran, lalu mengambil kembali budak-budak lelaki dan perempuan yang telah mereka lepaskan sebagai orang merdeka itu dan menundukan mereka menjadi budak laki-laki dan perempuan lagi" (ayat 11). Tindakan mengambil kembali budak-budak itu merupakan tindakan yang menajiskan nama Tuhan, sebab, Tuhan sudah mengikat perjanjian dengan nenek moyang Israel pada waktu membawa mereka keluar dari Mesir, tempat perbudakan. Dengan membebaskan mereka dari tempat perbudakan itu, maka tidak boleh ada perbudakan di Israel. Supaya Israel benar-benar bebas dari perbudakan, maka "pada akhir tujuh tahun haruslah kamu masing-masing melepaskan saudaranya sebangsa Ibrani yang sudah menjual dirinya kepadamu; ia akan bekerja padamu enam tahun lamanya, kemudian haruslah engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka" (14). Sama seperti nenek moyang Israel tidak mengindahkan perjanjian Tuhan itu, demikian halnya dengan pemimpin Israel saat ini tidak mendengar Tuhan dengan sungguh- sungguh karena mereka masing-masing yang memiliki budak laki-laki atau perempuan telah mengambil kembali budaknya laki-laki dan budaknya perempuan. Ini merupakan tindakan pemberontakan terhadap Tuhan yang membawa mereka kepada hukuman, sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut ini.
Ayat 17-22: Hukuman terhadap pemimpin Israel
Atas ketidaksetiaan pemimpin Israel mentaati apa yang dimaklumkan Allah mengenai pembebasan budak, mereka harus menghadapi ganjaran Tuhan, yaitu "diserahkan kepada pedang, penyakit sampar dan kelaparan" (ayat 17). Lebih dari itu, Tuhan bahkan menyerahkan mereka yang melanggar perintah- Nya "ke dalam tangan musuh mereka dan ke dalam tangan orang-orang yang berusaha mencabut nyawa mereka, sehingga mayat mereka menjadi makanan burung-burung di udara dan binatang-binatang di bumi" (ayat 20). Sementara itu, Zedekia dan para pemuka Israel diserahkan kepada tentara dan raja Babel, yakni Nebukadnezar (597 sM), yang menaklukkan Yehuda, sehingga Zedekia kehilangan kekuasaan dan menjadi raja terakhir Yahuda. Oleh pelanggarannya bersama para pemuka Israel, Yehuda benar-benar "menjadi ketandusan tanpa penduduk" (ayat 22). Suatu ungkapan yang menggambarkan kemarahan dan hukuman Tuhan atas bangsa Ibrani dan pemimpinnya, raja Zedekia, yang
tidak taat kepada Tuhan. Tuhan tidak membiarkan manusia ciptaan-Nya, dan secara khusus umat-Nya, kehilangan kebebasannya, maka perbudakan tidak boleh ada dalam kehidupan manusia. Siapa saja yang menghilangkan kebebasan orang lain akan berperkara dengan Tuhan.
PENERAPAN
Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dan secara khusus di Tanah Papua perbudakan sudah merupakan masa lalu setelah tanah ini diterangi Injil. Akan tetapi, jiwa perbudakan dan penguasaan atas orang lain, tanpa disadari sedang terjadi baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan agama. Karena kondisi inilah melalui sidang sinode ke-18, GKI di Tanah Papua berkomitmen hadir dan melayani di negeri ini sebagai gereja pembawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Ketidakadilan terjadi karena ada orang yang merasa kuat dan berpengaruh menguasai orang lain, sehingga melahirkan suasana yang tidak damai dalam masyarakat. Kesejahteraan pun hanya dinikmati oleh mereka yang menguasai ekonomi, politik dan bahkan agama. Tidak heran kalau hari ini kita sedang mengalami "paradoks Papua", Papua kaya, tetapi miskin, Papua melimpah sumber daya, tetapi melarat.
Papua sudah 170 tahun hidup dalam Injil, dan GKI di Tanah Papua sudah 69 tahun hadir dan melayani di tanah ini. Tetapi, mengapa masih ada paradoks Papua tersebut? Salah satu penyebabnya adalah mental perbudakan dan penguasaan atas orang lain masih mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Oleh karena itu, kehadiran dan pelayanan GKI di Tanah Papua harus dapat menegakan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan di negeri ini. Pelayanan GKI setelah 69 6ahun ini, haruslah pelayanan yang membebaskan dan mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah dalam masyarakat yang adil, damai dan sejahtera.
Untuk Informasi lainnya yang terdapat di dalam buletin, Silahkan download file pdf yang link-nya tersedia di bawah ini